Apa sih Lahan Gambut itu ?

sumber : globallandscapesforum.org

Akhir-akhir ini kita tentu sering mendengar berita tentang kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang disebut-disebut disebabkan oleh terbakarnya lahan gambut. Lantas apa sih sebenarnya lahan gambut yang sering menjadi 'kambing hitam' penyebab kebakaran hutan ini ? Kuy kita bahas.

Kata 'gambut' berasal dari bahasa Banjar. Gambut sendiri menurut KBBI memiliki arti tanah lunak dan basah, terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk (biasanya terbentuk di daerah rawa atau di danau yang dangkal). Gambut dalam bahasa inggris disebut peat atau turf.

Lahan gambut adalah bentang lahan yang tersusun oleh tanah hasil dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan yang tergenang air sehingga kondisinya anaerobik. Material organik tersebut terus menumpuk dalam waktu lama sehingga membentuk lapisan-lapisan dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah jenis banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti rawa, cekungan, atau daerah pantai. 

Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut mempunyai kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Karbon tersimpan mulai dari permukaan hingga di dalam dalam tanah, mengingat kedalamannya bisa mencapai lebih dari 10 meter.
Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga 13 kali dari bobotnya. Oleh karena itu perannya sangat penting dalam hidrologi, seperti mengendalikan banjir saat musim penghujan dan mengeluarkan cadangan air saat kemarau panjang. Kerusakan yang terjadi pada lahan gambut bisa menyebabkan bencana bagi daerah sekitarnya.
Deposit gambut tersebar di banyak tempat di dunia. Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut dan sekitar 7% dari lahan-lahan gambut itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Jika kondisinya sesuai, gambut dapat berubah menjadi sejenis batu bara setelah melewati periode waktu geologis yang panjang.


Bagaimana lahan gambut terbentuk ?

Tanah gambut terdiri dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan binatang yang telah mati baik yang sudah lapuk maupun belum. Tanah gambut biasanya terbentuk di lingkungan yang basah. Proses dekomposisi di tanah gambut terhambat karena kadar keasaman yang tinggi serta kondisi anaerob yang menyebabkan sedikitnya jumlah organisme pengurai., Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.
Biasanya disebut lahan gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30%, akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.
Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang terbentuk pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan dengan demikian akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-lahan yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan gambut sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. Demikian pula, melalui analisis terhadap komposisi gambut, terutama tipe dan jumlah penyusun bahan organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.
Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batu bara. Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon.

Sebaran Lahan Gambut
sumber : Wetland International

Secara teknis lahan gambut dikelompokan ke dalam jenis lahan basah. Setengah dari luas lahan basah di bumi ini berupa lahan gambut. Proporsinya mencapai 3% dari total daratan yang ada. Meski terbilang kecil, gambut menyimpan cadangan karbon dua kali lebih besar dari semua hutan yang ada. Lahan gambut bisa ditemukan di hampir semua negara, mulai dari iklim kutub, sub tropis hingga tropis.
Contoh hutan gambut yang luas ada di wilayah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat. Selain itu terdapat juga lahan gambut tropis yang ada di Asia Tenggara. Lahan gambut tropis juga ditemukan dalam sekala lebih kecil di Amerika Latin, Afrika dan Karibia.
Asia Tenggara merupakan tempat lahan gambut tropis terluas, sekitar 60% gambut tropis atau sekitar 27 juta hektar terletak di kawasan ini. Lahan gambut di Asia Tenggara meliputi 12% total luas daratannya. Sekitar 83% masuk dalam wilayah Indonesia, yang sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut di Indonesia mempunyai ketebalan 1 hingga 12 meter, bahkan di tempat tertentu bisa mencapai 20 meter.
Gambut sebagai Sumber Energi
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Gambut itu lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan, kandungan air dalam gambut bisa dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan, gambut bisa digunakan sebagai bahan bakar sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting di negara-negara yang mengalami kelangkaan pohon seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan penghangat di musim dingin. Secara modern, gambut dipanen dalam sekala industri dan dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule.
Jenis-Jenis Tanah Gambut 
Menurut kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen dan gambut ombrogen.
Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.
Gambut ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering; kandungan garam dan sulfida yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit dihuni oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya. Penelitian di Sarawak memperlihatkan bahwa gambut mulai terbentuk di atas lumpur mangrove sekitar 4.500 tahun yang lalu; pada awalnya dengan laju penimbunan sekitar 0,475 m/100 tahun (pada kedalaman gambut 10–12 m), tetapi kemudian menyusut hingga sekitar 0,223 m/100 tahun pada kedalaman 0–5 m Agaknya semakin tua hutan di atas tanah gambut ini tumbuh semakin lamban akibat semakin berkurangnya ketersediaan hara.

Kerusakan Lahan Gambut
sumber : ANTARA/ SYIFA YULINNAS

Kerusakan lahan gambut banyak terjadi karena aktivitas manusia, misalnya konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Lahan gambut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengalami laju kerusakan tertinggi. Kerusakan terbesar diakibatkan oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pulp.
Kerusakan lahan gambut diawali dengan proses pembabatan hutan (land clearing). Proses selanjutnya adalah pengeringan lahan yang bertujuan untuk mengeluarkan air yang terkandung dalam tanah gambut. Caranya dengan membuat parit atau saluran drainase agar air mengalir keluar.
Proses pengeringan ini menyebabkan turunnya permukaan gambut. Sehingga pohon-pohon yang terdapat di permukaan tanah tidak bisa tegak dengan kuat karena akarnya menyembul. Banyak pohon yang roboh di atas gambut yang tidak sehat.
Pengeringan pada lahan gambut mempunyai karakteristik tidak dapat kembali (irreversible). Sekali air dikeluarkan, gambut akan kehilangan sebagian kemampuannya untuk menyimpan air. Di musim kemarau akan rawan kebakaran. Proses kebakaran hutan gambut merupakan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer dan memusnahkan keanekaragaman hayati hutan. Sebaliknya di musim hujan, hutan tidak bisa menyerap air dengan baik yang menyebabkan bencana banjir.
Lahan gambut menyimpan 550 G ton karbon, jumlah ini setara dengan 75% karbon yang ada di atmosfir, dua kali jumlah karbon yang dikandung seluruh hutan non-gambut dan sama dengan jumlah karbon dari seluruh biomassa yang ada di bumi. Bahaya dari rusaknya gambut tidak hanya dirasakan secara lokal dan regional saja, melainkan berkontribusi pada bencana global dan perubahan iklim. Emisi karbon bisa terlepas saat konversi gambut, mulai dari pembabatan vegetasi, kebakaran hutan, hingga proses dekomposisi gambut akibat kegiatan pertanian.
Sumber :
https://jurnalbumi.com/knol/lahan-gambut/
https://id.wikipedia.org/wiki/Gambut

Comments

Popular posts from this blog

Kasus-Kasus Biopiracy yang Pernah Terjadi di Dunia

Materi Partikulat / Particulate Matter (PM)

Meniru Teknologi Alam melalui Biomimikri